Published On: 19 October 2020Categories: Cerpen, Headline

M. Agus Khamid Arif

 

Liburan telah usai, saatnya ku kembali ke rutinitas bekerja sebagai pegawai kontrak di kota Semarang. Pagi buta ku harus berpacu dengan waktu, agar tak ditinggal kereta. Seakan di hari Senin ini menjadi waktu untuk orang-orang saling menyalip seperti pembalap MotoGP. Walaupun driver Ojol yang kutumpangi tak segesit dan selincah Valentino Rossi. Akhirnya sampai ke stasiun PK (Pekalongan Kota), langsung cetak tiket, cek identitas di pintu masuk, dan lari menuju jalur 3, kemudian naik ke gerbong kereta sesuai tiket. Aku sisir satu demi satu tempat duduk yang sesuai kode booking. Berharap bisa duduk berjejer dengan mahasiswi yang sekiranya betah berlama-lama naik kereta berjam-jam.

Ternyata, wanita tua lah yang duduk di sebelahku. Bangku nomor 17A gerbong ekonomi 8, dalam rangkaian kereta jurusan Brebes-Semarang. Wajahnya keriput tandakan garis umur yang telah lanjut. Beberapa rambutnya menjulur dari kerudung tampak putih bertabur uban. Kulitnya yang gelap serta kuku-kuku tangannya yang keras dan pecah. Giginya yang kemerahan-merahan karena kebiasaannya nginang. Ia mengenakan kebaya layaknya busana kebanggaan wanita Jawa. Dan kulihat ia mengempit tas berbahan kulit imitasi yang mulai pudar dan pecah. Di sampingnya terdapat buntelan makanan khas, serta dipegangnya sebuah undangan. Entah undangan pernikahan siapa itu?

Ramah, tanpa aku minta, ia mengumbar cerita kepadaku. Mengawalinya percakapan dengan bertanya, dari mana, mau ke mana, dan untuk urusan apa. Walaupun baru semenit berjumpa, kayaknya Ia bisa menebak bahwa aku lawan bicaranya yang tepat. Akupun jawab seperlunya, tetapi wanita tua itu terus bicara panjang layaknya gerbong kereta yang kunaiki.

Ia berasal dari Kamalasih, Brebes, mau menuju Semarang memenuhi undangan anak satu-satunya yang akan diwisuda. Dengan bangganya Ia merawikan keberhasilannya dalam menyekolahkan buah hatinya hingga lulus kuliah.

“Sombong sekali ibu ini,” gerutuku. Ya, itulah pemikiran seorang ibu, akan bangga dan sesumbar kita anaknya berhasil jadi sarjana. Mungkin sama apa yang dilakukan ibuku kala aku wisuda dulu.

Lanjut kembali ke cerita ibu tadi yang tidak mau disela dengan argumenku. Semenjak anaknya lulus SMA, Ia dan suaminya mempunyai harapan besar. Menjadikan anak laki-lakinya bisa menjadi kebanggan keluarga serta berguna untuk tempat kelahirannya.

Memang sih, Desa Kamalasih terkenal warganya mayoritas petani bawang merah. “Patutlah kuku-kukunya keras dan pecah, karena tiap hari harus mengeker tanah lahan pertanian bawang merah,” gumamku.

“Pengharapan kami ada pada namanya, Karyanto Aji Negara. Itulah nama anakku yang sebentar lagi akan mendapat gelar sarjana pertanian,” ujarnya.

Apa yang ibu banggakan dari seorang sarjana pertanian? Padahal jurusan lain lebih menguntungkan dan mudah diterima kerja,” tanyaku sembari ingin kepoin ibu itu.

Sambil membuka buntalan plastik berisi jajan khas Brebes dan sebungkus bawang merah goreng wanita tua itu menyodorkan ke padaku dan memintaku untuk mencicipinya. Sembari bertanya balik ke padaku.

“Pernah makan ini, cukup dengan nasi dan bawang merah goreng ini? cetus wanita tua itu. Sambil geleng-geleng dan kukunyah serta kunikmati rasa aroma khas Brebes yang tiada duanya. “Enak, enak sekali, renyah, gurih, pokoknya ehhhhmm,” pengakuanku tentang sodoran wanita tua itu.

Bayangkan, itu hasil dari orang-orang yang hanya tamatan SD bahkan tak bersekolah. Jika kedepannya para penerus kami, generasi kini yang berpendidikan mau turun langsung ke sawah dengan berbekal ilmu di bangku kuliah, pasti hasil bumi ini akan berlimpah ruah.

Akupun terdiam malu karena pemikiran wanita tua itu. Seperti menghinaku sebagai generasi sekarang yang belum berperan banyak pada kehidupan ini. Kuberanikan untuk bertanya “Kenapa ibu menghadiri wisuda anak ibu sendirian? Di mana bapak atau saudara Ibu?

“Hening, sejenak wanita tua terdiam, tak tampak lagi wajah menyombongkan tentang anaknya, matanya mulai berkaca-kaca. Terlihat wanita tua itu sebisa mungkin membendung agar air mata tak tumpah di pipi.

Perlahan, sedikit demi sedikit laju roda besi mulai meneruskan perjalanannya setelah singgah di stasiun Weleri. Tak kurang 15 menitan lagi sampai ke stasiun tujuan, dan mungkin kisah ini adalah klimaks dari percakapan selama di kereta ini. Wanita tua pun mulai melanjutkan kisahnya, kali ini akan berbau melankolis gara-gara pertanyaanku yang memancing haru.

Dua tahun yang lalu, Bapak dari anaknya mengalami kejadian tragis. Insiden kecelakaan saat truk yang ditumpangi terguling di jalan tol Pejagan kala memasarkan hasil panen ke luar daerah. Sungguh terpukul pastinya, jika mendengar salah satu keluarga kita yang mengalami musibah.

“Itulah cobaan terbesar dalam hidupku dan anakku, ditinggal pergi bapak dari anakku,” keluh wanita tua sambil mengusap sudut mata yang tergenang air.

Benarkan, apa yang ku terka. Pasti membuatku sedih karena klimaks cerita wanita tua itu. Dah, seperti skenario di sinetron yang endingnya membuat penonton menangis. Tapi, pasti ada hikmah di balik sebuah musibah. Ada anak laki-lakinya yang sebentar lagi akan diwisuda. Setidaknya bisa menggantikan peran bapak untuk memenuhi kebutuhan keluarga, atau mungkin malah memenuhi harapan dari mimpi orang tuanya. Menjadi anak laki-lakinya yang bisa membanggakan keluarga atau berguna untuk tempat kelahirannya.

“Siapa tahu dengan doa yang terselip pada nama anaknya Karyanto Aji Negara, yang mungkin artinya sebuah karya wujud penghargaan untuk negara mampu dibuktikan oleh anaknya,” terka ku, gejolak batin memikirkan wanita tua yang belum ku ketahui namanya.

“Para penumpang tujuan perjalanan kereta api Kaligung sudah sampai di stasiun akhir Semarang Poncol! “Mulai tampak semangat wajah wanita tua itu. Seakan-akan mau bertemu dan menerima penghargaan dari Bapak Bupati. Berkemaslah wanita tua itu, dengan membungkus sisa bekal yang dibawanya. Aku pun bergegas merapikan bawaanku walau cuma mengecek tentengan tas ranselku.

“Terima kasih nak atas pembicaraan selama di kereta. Buat bangga orang tuamu buat bangga tanah kelahiranmu dengan karya-karyamu!” amanat wanita tua yang sampai sekarang belum ku ketahui namanya. “Iya Bu, terima kasih,” jawabku sambil ku tinggalkan wanita tua itu.

Sekeluarnya diriku dari pintu kereta yang berjubal manusia, sambil melihat jam tangan yang melingkar di tangan kiriku telah menunjukan pukul 07.00 WIB. Terlintas dalam pikirku, apakah benar wanita tua itu memang ingin menghadiri undangan anaknya yang akan diwisuda? Kalau benar begitu, kenapa tak ajak sanak keluarga untuk mendampingi? Apakah mampu wanita tua itu bisa bertahan sendirian di tengah kota sebesar Semarang ini? Dan mungkinkah pengharapan kepada anak laki-laki semata wayangnya mampu membuat bangga tanah kelahirannya?

Ah, itu tak perlu kupikirkan. Toh aku bukan siapa-siapanya, semoga saja wanita tua itu sampai tepat waktu di acara wisuda anaknya, kemudian foto bersama penuh bangga, lalu menggandengnya pulang untuk mulai berkarya untuk tanah kelahiran, negeri tercinta.

Cukup itu doaku kepada wanita tua yang belum kukenal namanya sampai sekarang.

(Semarang, 26 Agustus 2020)

 

juara 1 lomba cipta cerpen kategori tenaga kependidikan

dalam rangka memperingati HUT RI ke-75