Peserta workshop yang diselenggarakan Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Tengah mendapatkan materi tambahan terkait 3 dosa besar di lingkungan pendidikan. Materi ini menjadi salah satu penguatan profil pelajar Pancasila.
Narasumber yang hadir di Aula Soekarno BBPMP Provinsi Jawa Tengah, Rabu (7/9/2022) diantaranya Sekretaris Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendikbudristek, Subiyantoro dan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti serta Auditor Utama Itjen Kemendikbudristek, Chandra Irawan.
Dalam paparannya, Subiyantoro menyebutkan Kemendikbudristek sebagai penanggungjawab pendidikan nasional telah mengambil berbagai langkah untuk mencegah terjadinya intoleransi, kekerasan seksual dan perundungan di satuan pendidikan. 3 hal tersebut merupakan 3 dosa besar yang kerap terjadi di lingkungan pendidikan.
Menurut Subiyantoro, Kemendikbudristek telah memiliki Kelompok Kerja (Pokja) khusus pencegahan dan penanganan tindakan kekerasan dan intoleransi. Pokja tersebut akan turun tangan bila terjadi peristiwa “3 dosa besar” di lingkungan pendidikan.
Tidak hanya setelah mendapatkan laporan, pokja ini juga proaktif menyosialisasikan pencegahan sebelum terjadi tindakan yang mencoreng nilai-nilai pendidikan. Diantara yang dilakukan yakni membangun ruang aman untuk bersuara dan mekanisme pengaduan yang efektif.
“Ruang aman bebas dari praktik 3 dosa besar di lingkungan pendidikan tersebut. Misal ada aturan yang berpotensi terjadinya diskriminasi dan intoleransi, ada kanal pelaporan yang dapat disampaikan disana. Seperti seluruh murid perempuan disuruh pakai jilbab di sekolah umum atau negeri. Harusnya aturannya tidak mewajibkan tapi juga tidak melarang,” kata Subiyantoro.
Tidak hanya masyarakat imbuh Subiyantoro, para pendidik dan tenaga kependidikan juga dapat melaporkan pengaduan. “Payung hukum bagi guru sudah ada. Permendikbud nomor 82 tahun 2015. Jangan takut melapor karena sudah dilindungi,” kata Subiyantoro lagi.
Senada dengan Subiyantoro, Komisioner KPAI Retno Listyarti juga menyampaikan bahwa payung hukum atas tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan juga melindungi pelapor. Guru atau kepala sekolah kata Retno akan mendapat pendampingan dari dinas pendidikan serta dari kepolisian.
“Ibu bapak guru sekalian tetap akan mendapat pendampingan ketika melaporkan kejadian 3 dosa besar itu. Peraturannya menyebutkan demikian. Sehingga bila melihat ada dugaan misal tindak kekerasan pada anak yang berasal dari keluarga, sampaikan saja, itu demi anaknya (peserta didik) juga,” timpal Retno.
Pada kesempatan tersebut, Retno juga membeberkan berbagai bukti dari media massa terkait darurat kekerasan pada anak-anak. Dari data yang dihimpun KPAI tahun 2021, terdapat 2982 laporan pengaduan. Dari data tersebut juga, korban kasus tindak kekerasan seimbang pada anak laki-laki dan perempuan.
Menurut Retno, selama ini masyarakat beranggapan korban tindak kekerasan hanya terjadi pada anak perempuan. Padahal dikatakannya anak laki-laki juga banyak mengalami tindak kekerasan baik itu di lingkungan pendidikan maupun dalam keluarga.
“Jadi kekerasan pada anak itu nyat. Dan yang diakui mas menteri (Mendikbudristek Nadiem Makarik) itu memang ada. Berbagai data dan muncul di berita banyak dapat dilihat,” kata Retno.
Sementara itu, Chandra Irawan menyebutkan 3 dosa besar pendidikan khususnya pada kekerasan seksual dapat terjadi di setiap sudut ruang, waktu dan dapat terjadi pada siapa saja. Pengalaman Chandra mendampingi, tidak hanya ruang-ruang sekolah yang tersembunyi, namun kekerasan seksual juga dapat terjadi ditempat terbuka.
“Bisa terjadi di saat pembelajaran, di waktu siang dan masih banyak orang. Bukan hanya pada kondisi lokasi dan sepi aktifitas. Itu bisa kapan saja terjadi,” terang Chandra.
Selain itu imbuh Chandra, korban dan pelaku kekerasan seksual di satuan pendidikan tidak hanya terjadi pada peserta didik atau mahasiswa. “Sesama guru, dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan satuan pendidikan juga terjadi kekerasan seksual,” kata Chandra.
Dalam Permendikbud nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi disebutkan, Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi
informasi dan komunikasi.
Dalam pasal 5 Permendikbud tersebut lebih jelas diterangkan cara dan proses tindakan kekerasan seksual. Diantaranya menyampaikan ujaran, memperlihatkan, mengintip, menyentuh, mengambil dan mengirim obyek bernuansa seksual kepada korban tanpa adanya persetujuan.
Chandra juga mengingatkan, makna tanpa persetujuan korban bukan berarti boleh dilakukan bila keduanya menyetujui tindakan asusila tersebut. Dalam ayat selanjutnya kata Chandra telah ditentukan juga pengecualian terhadap makna frase persetujuan korban.
“Yang terpenting bagi pendidik dan tenaga kependidikan saat ini, perlu memahami potensi perilaku kekerasan seksual agar tidak terjadi baik di dalam dan luar lingkungan pendidikan. Kita bisa cegah kita bisa tangani sejak dini,” tegas Chandra.

peserta fokus mendengarkan materi yang disampaikan oleh nasrasumber
Kegiatan Workshop Pemanfaatan TIK Untuk Pelatihan Kurikulum Merdeka Secara Mandiri Melalui Platform Merdeka Mengajar bagi Komunitas Belajar yang diselenggarakan BBPMP Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 6-8 September 2022 ini, sudah memasuki Angkatan III. Para peserta berasal dari guru atau kepala sekolah tingkat PAUD, SD dan SMP yang telah menetapkan satuan pendidikannya menjalani Kurikulum Merdeka. (LBS)